Selasa, 27 April 2010

Mencegat lompatan lompatan Gus dur 3


Gagalkah Gus Dur? Gagal dan tidak, harus ditinjau dari prespektif yang luas. Ditinjau dari segi Al-Hikam, keberhasilan Gus Dur dengan Khittah 1926, bukan karena Gus Dur atau para pendukungnya. Hakikat keberhasilan Gus Dur yang ada, sama sekali tidak takdir Ilahi terhadap NU.

Ikhtiar, upaya, semangat, jihad, adalah "tanda-tanda" sukses NU, bukannya faktor penentunya. Dalam dimensi tasawuf Al-Hikam, apabila NU ditakdirkan berhasil dan sukses, akan banyak Gus Dur lain yang memiliki visi dan ruh yang sama. Bukan sebaliknya.

Namun kenyataannya, justru sebaliknya. Banyak tokoh-tokoh NU yang merasa mampu mengubah takdir Allah, dan ketika berhasil menganggap sebagai upayanya sendiri tanpa campur tangan Ilahi. Kecuali kalau gagal, baru mengatakan, “Demikianlah takdir Allah…!”

Karena itulah, Al-Hikam menyarankan pada matan selanjutnya:
"Abaikanlah dirimu untuk ikut campur (urusan Allah), sebab apa yang sudah diurus oleh. selain dirimu berkakaitan dengan dirimu, Anda jangan ikut campur di dalamnya untuk kepentinganmu."

Selanjutnya Gus Dur pun sering menghimbau kepada para kiai dan ulama, khususnya kalangan NU, agar tidak ikut mencampuri urusan yang bukan bidangnya. Misalnya urusan pencalonan presiden maupun gubernur, ataupun bupati. Urusan tersebut ada yang berwenang menangani. Ikut campur di luar bidangnya adalah bentuk salah kaprah yang fatal, dan menjadi kerumitan dinamika NU. Dan matan berikutnya berbunyi:
"Ijtihad Anda pada hal-hal yang sudah dijamin untuk diri Anda, dan sikap teledor Anda terhadap kewajiban yang harus Anda penuhi, merupakan bukti atas kekaburan mata hati Anda."

Bayangkan, berapa ribuan tokoh-tokoh NU yang mata hatinya kabur, karena etika dan sikap moralnya yang teledor, hanya karena mementingkan tuntutannya dibandingkan mementingkan tugasnya?

Gus Dur tidak pernah putus asa. Walaupun ia di tuntut terus menerus, khususnya pada setiap even dan momen tertentu. Gus Dur hariya bisa kembali sebagaimana wacana Al-Hikam dari matan ke matan berikutnya.

Dan sungguh, matan-matan Al-Hikam, tertib dan strukturnya, mulai awal hingga akhir, yang memenuhi lembaran-lembaran kitab, merupakan kesimpulan dari perjalanan spriritual penempuh jalan sufi, sekaligus juga peristiwa-peristiwa dalam konteks NU yang bakal maujud dalam sejarah NU dan umat Islam, Karena itu membaca NU pasca Gus Dur akan sangat mudah dengan membaca Al-Hikam dengan penafsiran dinamika NU,' karena di sana penuh dengan solusi-solusi langsung dan aktual.

Dalam prediksi matan Al-Hikam, NU pasca Gus Dur adalah pertama-tama NU akan melewati perebutan-perebutan ambisi yang saling menyodorkan alternatif. Sedangkan alternatif yang disodorkan oleh Khittah 1926, sebagai visi Gus Dur, dianggap belum tuntas. Padahal Gus Dur, sebagaimana Al-Hikam, menyandarkan titik akhir sejarah NU hanya kepada “alternative yang terbaik menurut Allah”, alternatif konsepsionalisasi yang direkayasa atau dipaksakan menurut penilaian tarbaik manusia. Kapan dan bagaimana allternatif Ilahi NU teraktualisasi dalam sejarah. Menurut Gus Dur dan Al-Hikam, hanya Allah saja yang tahu kapan aktualisasi historis idealisme itu maujud secara proporsional.

Paling tidak, Gus Dur walaupun belum maksimal telah melampaui tiga matan Al-Hikam di atas, dalam konstelasi ke-NU-annya. Tugas pelanjut Gus Dur adalah menerjemahkan matan-matan berikutnya dan konteks spirit NU masa depan, melalui solusi yang ditawarkan oleh Al-Hikam. Dalam hal ini, sangat dibutuhkan suatu Syarah Al-Hikam yang konstektual dengan NU modern. Suatu tantangan bagi kaum spiritulis NU yang memiliki "kearifan" dalam sejarah.

Sebagaimana para pembaharu atau mujtahid dalam dunia Islam, pasca mujtahid adalah para komentator, interpretator, dan kreator yang lebih spesialis dan detil. Maka, pasca Gus Dur, adalah Gus Dur-Gus Dur "kecil" yang "cantik" dan "indah" yang mampu mengepakkan sayap-sayapnya menjadi tarian yang rampak. Tarian "Gusduriyah".

Mencegat lompatan lompatan Gus dur 3


Gagalkah Gus Dur? Gagal dan tidak, harus ditinjau dari prespektif yang luas. Ditinjau dari segi Al-Hikam, keberhasilan Gus Dur dengan Khittah 1926, bukan karena Gus Dur atau para pendukungnya. Hakikat keberhasilan Gus Dur yang ada, sama sekali tidak takdir Ilahi terhadap NU.

Ikhtiar, upaya, semangat, jihad, adalah "tanda-tanda" sukses NU, bukannya faktor penentunya. Dalam dimensi tasawuf Al-Hikam, apabila NU ditakdirkan berhasil dan sukses, akan banyak Gus Dur lain yang memiliki visi dan ruh yang sama. Bukan sebaliknya.

Namun kenyataannya, justru sebaliknya. Banyak tokoh-tokoh NU yang merasa mampu mengubah takdir Allah, dan ketika berhasil menganggap sebagai upayanya sendiri tanpa campur tangan Ilahi. Kecuali kalau gagal, baru mengatakan, “Demikianlah takdir Allah…!”

Karena itulah, Al-Hikam menyarankan pada matan selanjutnya:
"Abaikanlah dirimu untuk ikut campur (urusan Allah), sebab apa yang sudah diurus oleh. selain dirimu berkakaitan dengan dirimu, Anda jangan ikut campur di dalamnya untuk kepentinganmu."

Selanjutnya Gus Dur pun sering menghimbau kepada para kiai dan ulama, khususnya kalangan NU, agar tidak ikut mencampuri urusan yang bukan bidangnya. Misalnya urusan pencalonan presiden maupun gubernur, ataupun bupati. Urusan tersebut ada yang berwenang menangani. Ikut campur di luar bidangnya adalah bentuk salah kaprah yang fatal, dan menjadi kerumitan dinamika NU. Dan matan berikutnya berbunyi:
"Ijtihad Anda pada hal-hal yang sudah dijamin untuk diri Anda, dan sikap teledor Anda terhadap kewajiban yang harus Anda penuhi, merupakan bukti atas kekaburan mata hati Anda."

Bayangkan, berapa ribuan tokoh-tokoh NU yang mata hatinya kabur, karena etika dan sikap moralnya yang teledor, hanya karena mementingkan tuntutannya dibandingkan mementingkan tugasnya?

Gus Dur tidak pernah putus asa. Walaupun ia di tuntut terus menerus, khususnya pada setiap even dan momen tertentu. Gus Dur hariya bisa kembali sebagaimana wacana Al-Hikam dari matan ke matan berikutnya.

Dan sungguh, matan-matan Al-Hikam, tertib dan strukturnya, mulai awal hingga akhir, yang memenuhi lembaran-lembaran kitab, merupakan kesimpulan dari perjalanan spriritual penempuh jalan sufi, sekaligus juga peristiwa-peristiwa dalam konteks NU yang bakal maujud dalam sejarah NU dan umat Islam, Karena itu membaca NU pasca Gus Dur akan sangat mudah dengan membaca Al-Hikam dengan penafsiran dinamika NU,' karena di sana penuh dengan solusi-solusi langsung dan aktual.

Dalam prediksi matan Al-Hikam, NU pasca Gus Dur adalah pertama-tama NU akan melewati perebutan-perebutan ambisi yang saling menyodorkan alternatif. Sedangkan alternatif yang disodorkan oleh Khittah 1926, sebagai visi Gus Dur, dianggap belum tuntas. Padahal Gus Dur, sebagaimana Al-Hikam, menyandarkan titik akhir sejarah NU hanya kepada “alternative yang terbaik menurut Allah”, alternatif konsepsionalisasi yang direkayasa atau dipaksakan menurut penilaian tarbaik manusia. Kapan dan bagaimana allternatif Ilahi NU teraktualisasi dalam sejarah. Menurut Gus Dur dan Al-Hikam, hanya Allah saja yang tahu kapan aktualisasi historis idealisme itu maujud secara proporsional.

Paling tidak, Gus Dur walaupun belum maksimal telah melampaui tiga matan Al-Hikam di atas, dalam konstelasi ke-NU-annya. Tugas pelanjut Gus Dur adalah menerjemahkan matan-matan berikutnya dan konteks spirit NU masa depan, melalui solusi yang ditawarkan oleh Al-Hikam. Dalam hal ini, sangat dibutuhkan suatu Syarah Al-Hikam yang konstektual dengan NU modern. Suatu tantangan bagi kaum spiritulis NU yang memiliki "kearifan" dalam sejarah.

Sebagaimana para pembaharu atau mujtahid dalam dunia Islam, pasca mujtahid adalah para komentator, interpretator, dan kreator yang lebih spesialis dan detil. Maka, pasca Gus Dur, adalah Gus Dur-Gus Dur "kecil" yang "cantik" dan "indah" yang mampu mengepakkan sayap-sayapnya menjadi tarian yang rampak. Tarian "Gusduriyah".

Mencegat lompatan lompatan Gus Dur 2

Tinjauan Sufisme Al-Hikam
Oleh: Muhammad Luqman Hakim

Kehadiran Gus Dur untuk mereformasi secara puritan melalui "Khittah 1926" adalah bentuk perenialisme NU dalam matra zaman yang lebih luas. Bukannya upaya memutar gerak jarum jam sejarah ke masa Ialu. Tetapi, mundur untuk melompat ke depan lebih jauh. Lompatan-Iompatan dalam visi Gus Dur ketika menerjemahkan Khittah 1926, merupakan lompatan "spiritual NU" yang kemudian berakses kepada lompatan moral, politik, kebudayaan dan tradisi intelektual serta sosial-ekonomi. Lompatan-lompatan ini bisa dilihat dari dimensi paling sederhana, namun merupakan dimensi paling dalam. Yakni dimensi sufisme yang menjadi "akhlak" ulama salaf dan ulama-ulama generasi pendiri NU.

Hal yang tidak bisa dipungkiri, adalah kesatuan para ulama pendiri NU dan Gus Dur sendiri, dengan wacana-wacana Corpus Tassawuf yang ditulis oleh Taajuddin Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin Atba'illah as-Sakandari, yakni kitab Al-Hikam. Hampir seluruh pesantren salaf di Indonesia, mengkaji kitab tersebut, dan sekaligus menjadi pijakan moralitasnya.

Kitab Al-Hikam, merupakan magnum corpus kaum sufi, yang mengandung mister-misteri spiritual dan sekaligus bisa digunakan untuk memprediksi gelombang pasang surut spriritual keagamaan semacam. yang terjadi dalam tubuh NU, Gus Dur sendiri yang hafal di luar kepala setiap wacana (matan) kitab Al-Hikam ini, tentu memahami secara lebih massif dan universal bagi kepentingan historis NU. Dalam bahasa yang paling "tradisional" kembali ke Khittah 1926, berarti kembali ke dalam dimensi "Al-Hikam" tersebut. Karena itu sebelum memimpin NU, Gus Dur telah menyatu dengan "Al-Hikam", yang kelak ketika memimpin NU, Al-Hikam menjadi instrumen "penggugat" dalam intern NU. Sayangnya, ribuan pesantren di Indonesia dewasa ini, telah merasa asing dengan kitab ini. Sebab, kitab ini merupakan kitab instrospektif, kitab yang bisa menusuk diri sendiri, kitab yang "ditakuti" oleh para kiai. Akhirnya, dari 6.000 pesantren yang ada, hanya beberapa gelintir saja yang masih mengkaji kitab ini. Fakta ini pula yang membuat gerakan moral ulama yang dilakukan Gus Dur banyak terhambat.

Matan Al-Hikam, Khittah 1926 dan Pasca Gus Dur
Coba kita renungkan sukses besar para. pendiri NU ketika mendirikan NU tahun 1926. kesuksesan ini erat dengan matan pertama dari Al-Hikam:

"Di antara tanda bersiteguh terhadap amal, adalah berkurangnya harapan (kepada Allah) ketika terjadi tindakan dosa".

Para Ulama pendiri NU dan Gus Dur tidak pernah mengajak warganya untuk bersikap menggantungkan diri pada upaya dan amalnya, dengan asumsi bahwa amal itu bisa menyelamatkannya. Kerj a organisasi, perjuangan, aktivitas nadhiyin, harus terjauhkan dari sikap i'timad terhadap amal. Sebab, sikap i'timad seperti itu, hanya melahirkan ketamakan dalam organisasi dan ambisi historis. I'timad terhadap amal, ikhtiar, dan upaya-upaya manusiawi hanyalah bentuk "penghalang" antara hamba dengan Sang Khalik. Amal hanyalah makhluk, bukan Khalik. Membanggakan makhluk adalah bentuk immoral yang jauh dari harapan spiritual yang menghantar sukses besar.

Para mujahid di kalangan ulama NU yang turut menghantar kemerdekaan bangsa ini, sama sekali menepiskan ketergantungannya terhadap amal dan sejarah. Satu-satunya tempat i'timad hanyalah Allah. Karena itu Khittah 1926 dulu jauh dari rekayasa-rekayasa ambisi politik, kalau toh pun ada akan tersingkir oleh sejarah. Ibnu Atha'ilah mengaitkan kebergantungan terhadap amal tersebut dengan tindakan dosa. Dalam konteks Khittah 1926, kembali ke Khittah 1926, tidak harus disertai "rasa bersalah" yang terus menerus, sehingga mengurangi optimisme masa depan (raja') itu sendiri. Sebab siapa pun yang merasa "miris" dan pesimis terhadap rahmat Allah ketika ia berbuat dosa, berarti ia belum bergantung kepada Allah, masih bergantung kepada amalnya. Begitu juga, warga NU yang masih merasa bersalah atas "dosa sejarah" yang mengakibatkan dirinya ekslusif, tersingkir, pesimis, dan bahkan cenderung "membangkang" berarti masih i'timad terhadap upaya amal, bukan i'timad kepada Allah. Sikap demikian inilah yang ingin "diberantas" Gus Dur.

Fakta demikian sesuai dengan wacana Al-Hikam berikutnya:
"Keinginanmu untuk tajrid, sementara Allah masih memposisikan dirimu pada dimensi sebab akibat (duniawi) merupakan bagian dari nafsu tersembunyi. Dan keinginanmu kembali pada sebab akibat (duniawi), sementara Allah sudah memposisikan dirimu dalam dimensi tajrid, merupakan penurunan (degradasi) dari cita¬cita yang luhur. "

Tajrid merupakan bentuk eskapisme kepada Allah tanpa menghiraukan dimensi selain Allah. Dalam konteks ke-Gus Dur-an, adalah "tidak mau tahu" urusan organisasi, urusan kemasyarakatan, urusan kemiskinan dan kebudayaan, bahkan urusan demokratisasi. Sikap demikian merupakan bentuk eskapisme nafsu yang tersembunyi, bukan eskapisme kesucian Ilahi. Padahal mayoritas warga NU belum sampai ke tahap tajrid ini. Lebih ekstrim lagi banyak tokoh-tokoh NU menggunakan baju tajrid untuk kepentingan pribadinya, kepentingan nama dan perutnya, ya kepentingan nafsunya. Lebih jauh lagi untuk kepentingan. politik kelompok tertentu.

Sebaliknya, mereka yang sudah sampai pada maqam tajrid dalam konteks ke-NU-an- tiba-tiba masih berambisi terjun ke dunia kausalitas NU. Tentu , tindakan demikian merupakan degradasi moral bagi ketokohannya. Para tokoh yang seharusnya “pensiun” dari NU, untuk lebih mendekatkan diri dalam “wilayah muraqabah dan taqarruh Ilahi”, ternyata banyak yang "cawe-cawe" ke dunia empirik, yang membuat keruwetan di tubuh NU. Padahal Allah sudah memberikan "kursi empuk spiritual", malah memilih kursi empuk duniawi. Inilah agenda Gus Dur sampai saat ini. Bahwa transformasi dari tahap kausalitas menuju tahap tajrid dalam NU, adalah tahap perjuangan dari unsur kepentingan menuju unsur "kepentingan Ilahi", dari hal-hal yang bersifat empirik ke esoterik. Sukses besar NU manakala NU mampu melakukan transformasi menuju "tajrid" peradaban yang luhur.

Senin, 26 April 2010

Mencegat lompatan lompatan Gus Dur 1



Page 1 of 3

Tinjauan Sufisme Al-Hikam
Oleh: Muhammad Luqman Hakim
Banyak pihak dan banyak cara untuk memahami pola pikir dan spirit KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sejak ia terlibat dalam Jamiyah Nahdhatul Ulama (NU). Satu-dua pendekatan saja, terutama pendekatan sosiologis empirik, akan “terperangah” oleh hasil final dari realitas gerakan.Gus Dur dalam memimpin NU,atau Gus Dur sebagai pribadi. Kalau toh menggunakan pendekatan komprehensif, maka Gus Dur adalah totalitas ekspresi dari keseluruhan akumulasi NU itu sendiri, baik dari khazanah intelektual, kultural, politik dan harakah organisatoriknya.

Tidak banyak yang meninjau Gus Dur dari dimensi esoterik, sufistik, bahkan perenialistik. Padahal untuk memandang Gus Dur, ucapan tindakan dan manuvernya, harus pula melihat sisi fundamental yang menjadi pijakan spiritualistis Gus Dur, dan tentunya sangat mempengaruhi strategi-panjang pendek, universal-parsial, sakral-sekuler, ideal-real, nasionalisme-internasionalisme, dan sebagainya, bagi kepentingan NU, kebangsaan dan kemanusiaan dunia.

Dengan mengenal lebih dekat “hati” Gus Dus, akan mudah memahami lompatan-lompatan kultural kedepan, sehingga pasca Gus Dur kelak bisa lebih bisa melakukan antisipasi secara visional, tanpa harus membubarkan tatanan yang bertahun-tahun telah distrukturkan dalam piramida besar NU, sehingga para penerus Gus Dur tidak canggung bahkan menemukan spirit optimisme yang “suci” pasca Gus Dur.

Hati Gusdur
Hati Gus Dur adalah “Rumah Ilahi” atau "Arasy Allah”. Rumah yang dipenuhi dengan jutaan dzikiri dan gemuruh musik surgawi, setiap detik, setiap saat, setiap berdiri. bergerak (qiyaman) dan duduk diam (qu’udan) serta ketika tidur dalam kefanaan (‘alajunubihim). Rumah Ilahi selalu terjaga (mahfudz) dari segala godaan duniawi, prestisius, dan segala hal selain Allah, peringatan-peringatan Ilahi dan teguran-teguran-Nya, senantiasa “turun” ketika Gus Dur akan berbuat kesalahan, ketika Gus Dur “frustasi”, ketika Gus Dur terbuai oleh “iming-iming”, atau ketika Gus Dur terlalu bermimpi.

Itulah untungnya jadi Gus Dur, tapi juga demikianlah risiko besar yang harus diterima, manakala Gus Dur menyimpang dan dimensinya, melesat dari Rumah Ilahi, Berat sekali beban Gus Dur menjaga Rumah Ilahi, lebih berat ketimbang menjaga “rumah besar” NU, yang konon sebagai “rumah tua yang berwibawa” ini. Sukses Gus Dur menjaga Rumah Ilahi dalam kalbunya, adalah sukses besar NU. Karena itu di mata Gus Dur sendiri, menurut hati nuraninya - memimpin NU atau tidak, nilainya sebanding. Gus Dur bukanlah tipikal seorang yang berambisi menaiki tahapan derajat duniawi maupun berambisi mendapatkan megamat ruhani-ukhrawi, yang dalam dunia tasawuf disebut dengan al-Murid. Tetapi Gus Dur adalah sosok yang diburu, dikejar dan dikehendaki Oleh tahapan-tahapan tersebut, dicari poleh massa dan organisasi, bahkan secara radikal dalam sufisme ia adalah tokoh yang “dicari Tuhan” (al-Murad).

Gus Dur “dicari” Tuhan, dan ditemukan di lorong-lorong kebudayaan, diketiak orang-orang miskin, dalam aliran derasnya keringat para buruh. Allah menemukan Gus Dur dalam alunan musik klasik, digedung-gedung bioskop dan di tengah-tengah supporter sepak bola. Gus Dur diburu Tuhan, ketika berada disela-sela kolom surat kabar dan majalah, bahkan diburu sampai ke Israel dan Bosnia. Dan Gus Dur “ditangkap” Allah, ketika pandangan matanya sudah setengah buta, ketika merunduk tersenguk-senguk dimakam para Auliya. Sayang, Allah memeluk Gus Dur ketika Gus Dur sudah “gila”, dan memimpin arisan orang-orang yang “gila” kepadanya.

Benar kata Khalil Gibran, "Di tengah masyarakat yang terdiri dari orang-orang gila, orang yang paling waras disebut sebagai orang yang paling gila. Dan di tengah masyarakat yang terdiri orang-orang yang waras, orang yang paling gila disebut orang waras".

Gus Dur dikatakan "gila" oleh masyarakat gila yang merasa waras. Dan ia disebut sebagai paling waras ditengah-tengah orang-orang "gila" yang tidak ingin waras. Kebudayaan "gila" dewasa ini harus diatur oleh orang paling waras, walaupun orang paling waras itu harus mendapatkan sebutan sebagai orang paling gila.

"Kegilaan" Gus Dur adalah tipikal paling relevan untuk memimpin masyarakat yang tergila-gila oleh kegilaan. Sebab Gus Dur adalah terali, tembok, pilar, atap, dan ornamen-ornamen bagi rumah Ilahi, yang terus mengalami "keterasingan" di tengah-tengah rumah besarnya sendiri, di tengah¬tengah bangsanya sendiri, juga di sudut-sudut lapuk warga nahdhiyin-nya.

WASIAT BAGI PARA MURID

Syeikh Abul Qosim Al-Qusyairy
Langkah pertama yang harus dijejakkan oleh penempuh (al-murid) tharikat ini, adalah ia harus melangkah di atas jalan kejujuran hati yang benar, agar benar pula membangun yang berdasarkan prinsip yang shahih. Sebab para syeikh berkata, “Mereka terhalang untuk sampai kepada Allah swt. (wushul) disebabkan mereka menelantarkan prinsip-prinsip akidah (al-ushul).”

Begitupun Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, “Awal mula bagi penempuh adalah meluruskan akidah antara dirinya dengan Allah swt, bersih dari segala dugaan dan keserupaan, jauh dan kesesatan dan bid’ah, muncul dari bukti-bukti dan hujjah. Bagi seorang murid, menjadi cela bila mengaitkan diri pada suatu mazhab yang bukan mazhab dari thariqat ini. Tidak ada pengaitan seorang Sufi kepada suatu mazhab yang berbeda dengan thariqat kaum Sufi, kecuali menyimpulkan akan kebodohannya, tentang mazhab thariqat ini. Sebab hujjah dalam persoalan mereka (kaum Thariqah) lebih jelas dibanding hujjah siapa pun. Dan kaidah mereka lebih kuat dibanding kaidah mazhab mana pun.”

Manusia adakalanya terpukau pada ayat dan hadis, adakalanya cenderung pada penggunaan akal dan pikiran. Sementara para syeikh golongan Sufi melampaui semuanya. Bagi manusia pada umumnya, sesuatu tampak gaib, namun bagi kalangan Sufi tampak jelas. Bagi khalayak, pengetahuan merupakan tumpuan, namun bagi kalangan Sufi pengetahuan maujud dari Allah swt. Yang Maha Haq. Mereka adalah kalangan yang senantiasa bertemu dengan Allah swt. (ahlul wishal) sementara manusia pada umumnya berpihak pada pencarian bukti (ahlul istidlal): Para Sufi itu sebagaimana diungkapkan penyair:
Malamku, bersama Wajah-Mu, cemerlang
Sedang kegelapan meliputi manusia
Manusia dalam kegelapan yang gulita
Sedang kami dalam cahaya siang benderang.

Tidak satu pun zaman dalam periode Islam, melainkan selalu ada seorang syeikh dari para tokoh Sufi ini, yang memiliki ilmu tauhid dan kepemimpinan spiritual. Tokoh-tokoh panutan ummat dari kalangan para ulama pada waktu itu, benar-benar telah berpasrah diri kepada syeikh tersebut, bertawadhu’ dan menyerap berkat darinya. Kalau saja tidak karena keistimewaan dan citra khusus bagi mereka, akan terjadi persoalan sebaliknya. Inilah yang dialami oleh Ahmad bin Hanbal ketika bersama asy-Syafi’y semoga Allah swt. meridhai mereka berdua datanglah Syaiban ar-Ra’y.

Ahmad bin Hanbal berkata, “Wahai Abu Abdullah, aku ingin mengingatkan orang ini akan kekurangan ilmunya, agar mau tekun meraih sebagian pengetahuan.” Maka asy-Syafi’y berkata, “Jangan Anda lakukan!” Namun Ahmad tetap saja berupaya.

Ahmad berkata kepada Syaiban, “Apa pendapatmu, bila ada orang lupa akan shalatnya dan shalat lima waktu sehari semalam. Sementara ia tidak mengerti shalat mana yang terlupakan? Apa kewajiban bagi orang tersebut, wahai Syaiban?” Syaiban menjawab, “Wahai Ahmad, itulah hati yang alpa terhadap Allah swt. Kewajibannya ia harus belajar adab, sehingga tidak lupa Tuannya.” Seketika itu pula Ahmad pingsan mendengar jawaban Syaiban. Ketika sadar, asy-Syafi’y berkata kepada Ahmad, “Bukankah sudah kukatakan, jangan mengganggunya! Syaiban ini orang yang buta huruf. Apabila orang buta huruf seperti dia dari kalangan mereka (kaum Sufi) saja demikian itu, lalu bukankah betapa hebat imam-imam mereka?”

Diriwayatkan bahwa ada seorang ahli fiqih dari kalangan fuqaha besar mempunyai majelis halaqah yang berdekatan dengan halaqah Dulaf asy-Syibly di Masjid al-Manshur. Faqih besar itu dipanggil dengan nama Abu Amran, yang meremehkan halaqah dan ucapan-ucapan asy-Syibly. Suatu hari para murid Abu Amran bertanya kepada asy-Syibly tentang masalah haid, dengan tendensi ingin mempermalukannya. Asy-Syibly menjawab dengan berbagai pandangan ulama mengenai masalah tersebut serta menyebutkan soal khilafiyah dalam masalah haid.


YUK BELAJAR RILEKSASI SEBELUM MAHIR MEDITASI


Rileksasi dalam pembelajaran Reiki dari semua aliran Reiki yang ada di Indonesia maupun yang ada di luar Indonesia selalu diterapkan pada seluruh kegiatan dan berlaku baik itu Praktisi Reiki itu sendiri ataupun pasien yang menerima energi Reiki. Hidup Sehat dengan Reiki akan membahas rileksasi dengan harapan setiap orang dapat mempraktekkannya dengan mudah.

Agar dapat mencapai kondisi rileksasi perlu dilatih secara berkesinambungan setiap harinya. Kemampuan rileksasi merupakan prasyarat awal yang harus dimiliki oleh seluruh Praktisi Reiki.Rileksasi penting dikuasai karena merupakan inti untuk masuk tahap meditasi. Bila kondisi mental emosional sedang labil ada kalanya kita uring-uringan di tempat kerja, di rumah ataupun dalam perjalanan menuju ke tempat kerja khususnya di Jakarta ini yang setiap hari selalu bertemu jalanan macet. Maka untuk menghadapi kemacetan ini nikmati saja, jangan ngresulo dan dengarkan musik klasik di radio mobil Anda. Karenanya latihan relaksasi pada banyak orang sangat bermanfaat untuk memperbaiki kondisi mental emosional seseorang termasuk juga untuk penderita gangguan emosional. Dalam latihan Tradisi Inti Reiki rileksasi digunakan untuk berbagai keperluan di antaranya mengendorkan ketegangan psikis dan tubuh. Teknik Rileksasi dapat dijabarkan menjadi:

A.TEKNIK RILEKSASI DENGAN NAFAS. (mata terpejam) Posisi duduk sempurna. Bernafas melalui hidung secara alami dengan kata lain tarik dan buang nafas hanya melalui hidung saja. Dengan menarik nafas dalam hitungan 1-2-3-4 secara perlahan-lahan. Kemudian buang nafas ini dalam hitungan sama 1-2-3-4. Ulangi tarik dan buang nafas ini sebanyak 3 siklus. 2. Ulangi sekali lagi sebanyak 3 siklus dengan visualisasi (kalau tak bisa membayangkan cukup “niatkan” saja saat mengeluarkan napas membayangkan semua keletihan tubuh, emosi negatif (marah, benci, dendam, sakit hati, mau menang sendiri, culas) dibuang jauh-jauh keluar dari tubuh/pikiran bersama hembusan nafas.

B.TEKNIK RILEKSASI TEMPAT FAVORIT.(mata terpejam) Latihan teknik rileksasi tempat favorit dapat dilakukan dalam 4 tahap sebagai berikut:

1. Memperlambat pernafasan dengan cara menarik nafas melalui hidung secara perlahan-lahan dan jangan dipaksa dan buang nafas perlahan-lahan pula. Lakukan tarik dan buang nafas ini 3 siklus dan iringi dengan senyum Anda.

2. Tempelkan ujung lidah Anda di langit-langit rongga mulut dan fokuskan perhatian Anda ke ubun-ubun (chakra mahkota). Dengan niat menerima energi rileksasi dan jangan lupa tetap tersenyum.

3. Tutup mata Anda. Bayangkan tempat favorit Anda misalnya di villa Anda di pegunungan yang sejuk, dikelilingi rimbunnya pepohonan dengan buah-buahan yang bergelantungan di dahannya, dengan hamparan rumput hijau bak permadani yang halus.Bisa juga Anda mengunjungi pantai yang indah pasir putihnya dengan deburan ombak yang memecah batu karang di pantai dengan nyiur melambai-lambai di tiup angin senja sambil memandang terbit dan tenggelamnya Sang Surya. Terserah Anda bisa memilih tempat favorit sesuai dengan pengalaman pribadi Anda sendiri. Tapi ingat jangan membayangkan tempat favorit Anda di Mal Metropolitan yang hingar bingar oleh pengunjung karena tempat seperti ini banyak orang yang lalu-lalang dan Anda sendiri tidak mengharapkan keriuhan dalam suasana rilek bukan?

4. Lakukan tahap rileksasi sebenarnya dari kondisi phisik Anda di mulai dari Kepala,Leher,Tubuh Atas(dada),Tubuh Bawah(perut),Pundak Kanan dan Pundak Kiri, Tangan Kanan dan Kiri, Pinggul (termasuk organ kemaluan), Paha Kanan dan Kiri, Lutut Kanan dan Kiri, Tungkai Kanan dan Kiri, Telapak Kaki Kanan dan Kiri, Kaki Kanan dan Kiri. Untuk setiap rileksasi bagian tubuh Anda iringi afirmasi, “sekarang ini otot muka/wajah saya…organ otak kanan/kiri sangat rileks…rileks…rileks (ini sekedar contoh saja) begitu seterusnya seiring bergeraknya rileksasi ke anggota tubuh lainnya ke bawah sampai kaki kanan dan kiri.Dalam proses rileksasi ini Anda masih membayangkan tempat favorit Anda dengan pola pernafasan yang semakin lambat, dalam, hening dan terasa ada getaran-getaran di sekujur tubuh Anda ini. Tetap rilek…rilek…rilek dan afirmasikan sekali lagi ke dalam alam bawah sadar Anda kalimat, “Dalam kondisi seperti sekarang ini Ya,Tuhan…saya selalu tenang, peka dan rilek sekali dalam segala kondisi dan situasi. Organ tubuh saya semuanya sehat…sehat…sehat…pikiran/keinginan negative saya buang jauh-jauh dan tidak akan saya ambil kembali setiap saat”. Kalimat afirmasi ini sekedar contoh saja dan Anda bebas mengganti dengan pokok kalimat sesuai permasalahan yang sedang Anda hadapi dalam hidup ini. Kini rasakan sensasi tubuh Anda yang semakin rilek, tenang di seluruh pancaindera Anda. Saatnya mengakhiri rileksasi ini dengan hitungan mundur dari 10-9-8-7…4 (mata kembali dibuka)-3-2-1-0 selesai Anda kembali ke kesadaran semula. Rasakan sekarang ini Anda begitu santai, tenang, segar,dan bugar. Kalau latihan ini dilakukan dengan teratur akan memberikan dampak positip bagi kesehatan kejiwaan Anda. Silakan coba sahabat saya agar anda tetap sehat.

C.TEKNIK RILEKSASI DENGAN DOA. Anda dapat juga melakukan rileksasi dengan Doa. Jikalau Anda beragama Islam dengan Zikir, bila Anda Kristen/Katolik bisa membaca Salam Maria atau doa Rosario. Bila Anda Budha bisa membaca Parita. Latihan ini untuk Praktisi non Reiki juga bisa dilakukan, namun bila Anda Praktisi Reiki sudah tahu bagaimana mengatur nafas untuk rileksasi sebelum meditasi sehingga selalu dapat hidup sehat dengan reiki berdampingan dengan non Praktisi Reiki yang juga berhak hidup sehat dengan caranya sendiri. Silakan pilih cara apa yang sekiranya cocok Anda praktekkan dalam belajar rileksasi.
Rileksasi tempat favorit

Rileksasi tempat favorit

Sumber tulisan diedit dari Rahasia Inti Reiki karya Dr. Riko Rahardian, Master Inti Reiki.

Mutiara Satu Kata


Dari Ibnu Hajar Al-Asqalani
Suatu hari Rasulullah saw. mengunjungi para sahabat
la bertanya: Bagaimana keadaan kalian?
Para sahabat menjawab: Kami beriman kepada Allah

Rasul saw.: Apa bukti iman kalian?
Sahabat: Kami bersabar atas cobaan
Kami bersyukur atas limpahan kehidupan
Dan kami rela apa pun anugerah Tuhan
Rasul: Demi Dzat Yang menguasai Ka’bah
Sungguh kalian mukmin sejati
hambakan diri kepada Allah
Dengan ikhlas dan sepenuh hati Jika kalian belum mampu rela
Jalankanlah dengan lapang dada
Sebab sesuatu yang kalian cela
Bisa jadi banyak kebaikannya

Allah berfirman kepada para Nabi:
Barangsiapa berjumpa dengan-Ku
Sedang la mencintai-Ku
Akan kumasukkan ia ke taman surga-Ku
Barangsiapa berjumpa dengan-Ku
Sedang ia takut akan siksa-Ku
Akan Kujauhkan ia dari api neraka-Ku
Dan barangsiapa berjumpa dengan-Ku
Dengan malu-malu
Akan kubuat lupa malaikat-Ku, untuk menyiksanya

Wisata Bahari Lamongan - WBL


Lamengan hanghai iuyoo shengdi
Bagaikan oase dipadang pasir, Wisata Bahari Lamongan (WBL) hadir dengan keindahan alam (nature), culture (budaya) and arsitektur yang bernuansa global, namun demikian tetap mempertahankan ciri khas local.
Menempati lahan seluas 17,5 ha, WBL menawarkan 45 wahana obyek wisata yang sarat dengan nuansa pantai, pedesaan dan clasik. WBL di desain sebagai tempat wisata dwi tunggal, yakni wisata jasmani dan wisata rohani. Karena itu tempat wisata ini terpadu antara keindahan alam pantai , Zoo and Goa Maharani, serta Makam Sunan Drajad sebagai salah satu Wali Songo yang sangat tersohor di Pulai Jawa.
Beribu-ribu wisatawan selalu memadati tempat wisata ini, baik wisatawan domistik maupun manca negara. Datanglah Ke Lamongan untuk berwisata, anda akan tersenyum dan gembira.